
Analisis Retorika Visual dan Sentimen Analisis pada Kampanye Ganjar Pranowo di dalam Video Adzan Maghrib
Nama Penulis: Gagas Ezhar Rahmayadi, Deny Haryadi, R. Bhima Danniswara, Valentino Kenny Surjadi, Netanel Danur Wendra
Link Artikel: https://journal.lembagakita.org/jtik/article/view/3557
DOI: https://doi.org/10.35870/jtik.v9i2.3557
Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi (JTIK)
Penelitian ini menganalisis retorika visual dan sentimen publik terhadap video kampanye Ganjar Pranowo yang menggunakan tayangan adzan maghrib sebagai bagian dari strategi kampanyenya pada Pilpres 2024. Studi ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan retorika visual untuk memahami makna pesan dalam video serta analisis sentimen untuk mengukur reaksi publik terhadapnya di media sosial.
Dari analisis retorika visual, ditemukan bahwa video tersebut menampilkan citra Ganjar Pranowo sebagai sosok yang ramah, religius, dan rendah hati. Adegan-adegan yang ditampilkan seperti menyambut jemaah di masjid, mengambil air wudhu, sujud dalam shalat, dan salam setelah shalat memperkuat pesan bahwa ia adalah pemimpin yang memiliki kedekatan dengan nilai-nilai Islam. Namun, terdapat ketidaksempurnaan dalam adegan wudhu, di mana Ganjar tidak melipat lengan bajunya, yang dapat menimbulkan pertanyaan terkait kebiasaannya dalam menjalankan ibadah.
Sementara itu, hasil analisis sentimen berdasarkan komentar publik di Twitter menunjukkan bahwa mayoritas tanggapan terhadap video ini bersifat netral (81,3%), dengan sentimen negatif (11,2%) lebih banyak dibandingkan sentimen positif (7,5%). Faktor utama yang mempengaruhi persepsi negatif adalah anggapan bahwa video ini merupakan bagian dari politik identitas dan pencitraan, yang dianggap oleh sebagian publik sebagai strategi untuk menarik pemilih Muslim.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun kampanye ini berhasil membentuk citra positif bagi Ganjar Pranowo, namun masih terdapat beberapa elemen yang dapat menimbulkan kontroversi dan mempengaruhi kredibilitasnya. Video tersebut dianggap sebagai alat komunikasi politik yang efektif dalam menarik pemilih berbasis agama, tetapi juga memicu skeptisisme publik terkait niat di balik penggunaannya.